KATA PENGANTAR
Pertama
kami ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan karunia dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “ REDENOMINASI “ dengan
tepat waktu. Makalah dibuat sebagai tugas kelompok untuk mata kuliah “ Ekonomi Moneter “dan sebagai bahan
pembelajaran bagi kami tim penyusun khususnya serta teman-teman sekalian
umumnya.
Ucapan terima kasih juga kepada Ibu
Diana Hasyim selaku Dosen Mata Kuliah Ekonomi Moneter yang telah banyak
membimbing kami. Dan juga kepada orang tua kami yang telah memberikan do’a
serta dukungan kepada kami dalam menuntut ilmu, terakhir kepada teman-teman
sekalian yang telah membantu kami.
Akhir kata “ Tiada Gading yang tak
Retak “, kami menyadari ketidaksempurnaan makalah ini, untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dan bukan memojokkan. Dan
segala kesalahan yang terjadi kami maaf kepada pembaca, terima kasih . . .
PENDAHULUAN
Redenominasi diartikan
menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang suatu negara menjadi pecahan
lebih kecil dengan cara menghilangkan nol tanpa mengurangi nilai mata uang
tersebut, misal Rp1.000 menjadi Rp1. Praktek redenominasi
ini telah lazim dilakukan di
banyak negara. Studi yang dilakukan Mosley (2005) mencatat sekitar 60 negara yang melakukan redenominasi dalam
periode 1960-1994. Redenominasi tersebut dilakukan dengan menghilangkan sejumlah digit tertentu dari mata uang,
sehingga akan menyebabkan perubahan
tampilan angka pecahan suatu mata uang menjadi lebih sederhana. Redenominasi mata uang tidak mengakibatkan
penurunan nilai relatif uang terhadap barang dan jasa karena harga barang juga disesuaikan dengan
denominasi yang baru tersebut. Misal, dengan redenominasi uang rupiah dari Rp1.000 menjadi Rp1, maka harga
suatu barang yang sebelum redenominasi
sebesar Rp1.000 akan berubah juga menjadi Rp1 setelah redenominasi, sehingga secara riil nilai uang tidak akan
berubah.
Redenominasi berbeda
dengan sanering yang pernah dilakukan Indonesia tahun
1959. Pada saat itu, nilai uang kertas diturunkan dari Rp 1.000,- menjadi
Rp100,- dan dari Rp500,- menjadi Rp 50,-. Kebijakan ini ditujukan untuk
mengurangi jumlah uang beredar akibat melonjaknya harga-harga barang dan jasa.
Sanering jelas menyebabkan turunnya nilai relative uang terhadap harga barang
dan jasa, sehingga menjadi suatu kebijakan yang tidak populer di mata
masyarakat. Berbeda dengan sanering, redenominasi yang dilaksanakan dengan baik
tidak akan merugikan masyarakat karena tidak menyebabkan penurunan nilai uang
atau tidak berpengaruh terhadap harga barang dan jasa.
Beberapa alasan diperlukannya redenominasi adalah: Pertama, pecahan uang yang terlalu
besar akan menimbulkan ketidak efisienan dan kenyamanan dalam melakukan
transaksi. Dengan pecahan yang terlalu besar, diperlukan waktu yang banyak
untuk mencatat, menghitung dan membawa uang untuk melakukan transaksi sehingga
ketidakefisienan dalam transaksi ekonomi. Kedua, redenominasi dapat digunakan untuk mempersiapkan kesetaraan
ekonomi Indonesia dengan kawasan dalam memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN
2015. Ketiga, nilai nominal uang
yang terlalu besar mencerminkan bahwa suatu negara mengalami inflasi yang
tinggi pada masa lalu atau kondisi fundamental ekonominya kurang baik. Sejalan
dengan membaiknya fundamental ekonomi Indonesia, maka dengan redenominasi akan
menyederhanakan penulisan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing sejalan
dengan fundamental ekonomi yang semakin kuat sehingga memberikan kebanggaan
untuk memegang uang Rupiah.
Beberapa faktor kunci keberhasilan program
redenominasi, berdasarkan study BI, antara lain: (i) Adanya kebutuhan seluruh
lapisan masyarakat terhadap penyederhanaan jumlah digit mata uang. (ii) Pemilihan
waktu pelaksanaan yang tepat terkait kondisi fundamental perekonomian cukup
kuat antara lain terkait dengan dengan membaiknya perekonomian dan tren inflasi
yang menurun. Dalam kaitan ini, program redenominasi perlu didahului prakondisi
program stabilisasi perekonomian yang cukup berhasil dan tata kelola yang baik.
Sebelum redenominasi Pemerintah mempersiapkan program stabilisasi perekonomian
khususnya menurunkan inflasi selama beberapa tahun sebelum dilakukan
redenominasi. Pada saat yang bersamaan otoritas fiskal terus berusaha
mempertahankan kebijakan yang disiplin dan ketat seperti memperkecil budget
defisit (cenderung tidak ekspansif). (iii) Tersedianya landasan hukum yang
cukup kuat yang mengatur penghapusan digit mata uang. (iv) Dukungan yang penuh dari
seluruh lapisan masyarakat termasuk pemerintah, otoritas terkait, pelaku bisnis
serta masyarakat umum sangat diperlukan untuk keberhasilan program
redenominasi. (v) Sosialisasi kepada publik dan edukasi yang intensif. Kegiatan
sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dilakukan secara intensif, bertahap,
dan terencana oleh bank sentral dan pemerintah untuk memberikan informasi yang
cukup kepada publik terkait dengan redenominasi.
Strategi yang perlu ditempuh adalah mempersiapkan
program redenominasi dengan baik sehingga redenominasi dapat dilaksanakan
dengan lancar. Hal ini sejalan dengan kajian yang telah dilakukan yang
menunjukkan bahwa dengan persiapan yang matang maka peluang untuk keberhasilan
redenominasi menjadi lebih besar. Untuk itu, program redenominasi akan
dilakukan dengan beberapa tahapan. Secara garis besar, pelaksanaan redenominasi
Rupiah dibagi dalam 4 (empat) tahapan besar, yaitu tahap penyiapan, tahap
pemantapan, tahap implementasi dan transisi, serta tahap phasing out.
Agar tahapan ini berjalan lancar, kegiatan ini akan dikoordinasikan dengan
Pemerintah dan perlu mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat
(merupakan kebutuhan yang diarasakan oleh masyarakat Indonesia). Pengalaman
dari beberapa negara yang berhasil melaksanakan redenominasi seperti Turki dan
Romania menunjukkan bahwa redenominasi memberikan manfaat bagi perekonomian
kedua negara tersebut. Setelah dilakukan redenominasi di tahun 2005,
perekonomian Turki misalnya terus mengalami perbaikan. Keberhasilan Turki dalam
mempertahankan momentum perbaikan ekonomi terletak pada 4 pilar pokok yaitu (1)
peningkatan kepercayaan masyarakat/dunia usaha terhadap implementasi program
stabilisasi, (2) upaya mempertahankan disiplin fiskal, (3) pelaksanaan
reformasi struktural, serta (4) pengendalian laju inflasi secara berkelanjutan.
ISI
1.
Pengertian
Redenominasi
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata
uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai
tukarnya. Pada waktu terjadi inflasi, jumlah satuan moneter yang sama perlahan-lahan memiliki daya beli yang semakin melemah. Dengan kata lain, harga produk dan jasa
harus dituliskan dengan jumlah yang lebih besar. Ketika angka-angka ini semakin
membesar, mereka dapat memengaruhi transaksi harian karena risiko dan
ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh jumlah lembaran uang yang harus dibawa,
atau karena psikologi manusia yang tidak efektif menangani perhitungan angka dalam
jumlah besar. Pihak yang berwenang dapat memperkecil masalah ini dengan redenominasi: satuan yang baru menggantikan satuan yang lama
dengan sejumlah angka tertentu dari satuan yang lama dikonversi menjadi 1 satuan
yang baru. Jika alasan redenominasi adalah inflasi, rasio konversi dapat lebih
besar dari 1, biasanya merupakan bilangan positif kelipatan sepuluh, seperti 10, 100, 1.000, dan seterusnya.
Prosedur ini dapat disebut sebagai "penghilangan nol".
Redenominasi menyederhanakan
denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan cara
mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Hal
yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang, sehingga
daya beli masyarakat tidak berubah. Sanering adalah pemotongan daya beli
masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada
harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun.
Pada
redenominasi, tidak ada kerugian karena daya beli tetap sama, sedangkan pada
sanering menimbulkan banyak kerugian karena daya beli turun drastis. Selain itu
redenominasi bertujuan menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan
nyaman dalam melakuan transaksi. Tujuan berikutnya, mempersiapkan kesetaraan ekonomi
suatu negara dengan negara regional, sementara sanering bertujuan mengurangi
jumlah uang yang beredar akibat lonjakan harga-harga. Dilakukan karena terjadi
hiperinflasi (inflasi yang sangat tinggi).
Pada
redenominasi nilai uang terhadap barang tidak berubah, karena hanya cara
penyebutan dan penulisan pecahan uang saja yang disesuaikan, sedangkan pada
sanering, nilai uang terhadap barang berubah menjadi lebih kecil, karena yang
dipotong adalah nilainya. Redenominasi juga biasanya dilakukan saat kondisi makro
ekonomi stabil. Ekonomi tumbuh dan inflasi terkendali, sedangkan sanering
dilakukan dalam kondisi makro ekonomi tidak sehat, inflasi sangat tinggi
(hiperinflasi).
Redenominasi
dipersiapkan secara matang dan terukur sampai masyarakat siap, agar tidak menimbulkan
gejolak di masyarakat, sementara sanering tidak ada masa transisi dan dilakukan
secara tiba-tiba.
2.
Kebijakan
Redenominasi
Dalam rangka
menciptakan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan handal, Bank
Indonesia melakukan suatu kebijakan yang disebut redenominasi. Redenominasi
mata uang rupiah merupakan salah satu kewenangan Bank Indonesia dalam rangka
mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran di Indonesia, yang tidak
boleh diintervensi oleh pihak-pihak lain, baik oleh pemerintah maupun DPR,
karena redenominasi mata uang rupiah sepenuhnya merupakan kewenangan Bank
Indonesia. Adapun alasan yang melatarbelakangi Bank Indonesia melakukan
redenominasi mata uang rupiah adalah karena:
a) Indonesia
adalah negara pemilik pecahan mata uang terbesar ketiga di dunia, dengan
pecahan mata Rupiah sebesar 100.000. Negara pemilik pecahan mata uang terbesar
kedua di dunia adalah Vietnam, dengan pecahan mata uang Dong Vietnam sebesar
500.000. Zimbabwe di urutan pertama dengan pecahan sebesar 10 juta dolar
Zimbabwe.
b) Munculnya
keresahan atas status rupiah yang terlalu rendah ketimbang mata uang lainnya,
misalnya terhadap dolar, euro, dan uang global lainnya, bukan soal substansi
tapi soal identitas karena kekuatan mata uang kita relative stabil, cadangan devisa
juga aman, inflasi terjaga (satu digit), investasi juga tidak ada persoalan,
kinerja ekonomi kita baik.
c) Pecahan
uang Indonesia yang terlalu besar menimbulkan ketidakefisienan dan
ketidaknyamanan dalam melakukan transaksi, karena diperlukan waktu yang banyak
untuk mencatat, menghitung, dan membawa uang untuk melakukan transaksi sehingga
terjadi ketidakefisienan dalam transaksi ekonomi.
d) Untuk
mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan kawasan ASEAN dalam memasuki
era Masyarakat Ekonomi Asean pada tahun 2015.
e) Untuk
menghilangkan kesan bahwa nilai nominal uang yang terlalu besar seolah-olah
mencerminkan bahwa dimasa lalu, suatu Negara pernah mengalami inflasi yang
tinggi atau pernah mengalami kondisi fundamental ekonomi yang kurang baik.
3. Rencana Implementasi
Masa implementasi redenominasi rupiah akan berjalan selama
10 tahun. Dari tahun 2010 sampai 2020 dengan tahapan sebagai berikut:
a) 2010-212 Sosialisasi
b)
2013-2015 Merupakan masa transisi. Pada masa transisi digunakan
dua mata uang rupiah, yakni memakai istilah rupiah lama dan rupiah hasil
redenominasi yang disebut rupiah baru. Pada masa ini masyarakat juga bisa
menggunakan dua jenis mata uang. Misalnya, ada pembeli dengan uang baru, si
penjual bisa member kembalian dengan uang baru maupun uang lama, ataupun
campuran keduanya. Toko yang menjual barang wajib memasang dua label harga,
yakni harga barang lama dan baru. Pada masa transisi itu juga, Bank Indonesia
akan mencetak uang baru yang diredenominasi. Sebagai contoh, Bank Indonesia
akan mencetak uang Rp 10,- yang akan mengganti pecahan Rp 10.000,-.
c) 2016-2018 Penarikan rupiah lama
d) 2019-2022 Tulisan kata
"baru" di mata uang dihilangkan.
4.
Tujuan
Redenominasi
Redenominasi
bertujuan menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam melakuan
transaksi.Tujuan berikutnya, mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan
negara regional. Sedangkan Sanering bertujuan mengurangi jumlah uang yang
beredar akibat lonjakan harga-harga. Dilakukan karena terjadi hiperinflasi
(inflasi yang sangat tinggi).
5. Manfaat Redenominasi
Ada tiga manfaat utama yang bisa kita dapatkan jika
redenominasi diterapkan, yaitu:
a) Menyederhanakan
perhitungan
Proses transaksi perdagangan,
akuntansi, perbankan sudah jelas akan mendapatkan keuntungan karena nilai uang
berkurang nolnya, namun bukan hanya itu, para programmer juga akan mendapatkan
keuntungan karena nilai transaksi perhitungan dalam program yang dibuat menjadi
lebih sederhana. Anak SD yang sedang belajar berhitung pun akan semakin
mudah.
b) Meningkatkan
produktivitas
Anggaplah anda adalah petugas
administrasi bagian entry data yang menggunakan Microsoft Excel.
Dengan menghilangkan tiga nol disetiap pencatatan transaksi, anda akan
menghemat waktu 1 detik untuk setiap transaksi, bayangkan anda sehari menginput
1000 transaksi, maka ada 1000 detik waktu yang dihemat, itu sama saja dengan 16
menit penghematan waktu perhari dan jika dikalikan 1 tahun kerja (dengan asumsi
hari aktif bekerja 300 hari), maka itu sama saja anda menghemat waktu 80
jam kerja ata sekitar 10 hari kerja. Itu baru satu orang, bayangkan jika ada 1
juta orang indonesia yang melakukan pencatatan transaksi tiap harinya, Berapa
penghematan waktunya?
c) Meningkatkan
harga diri bangsa
Nominal mata uang indonesia
menduduki peringkat kedua tertinggi didunia. Sekedar gambaran, rata-rata
penduduk amerika berpenghasilan 2.500 USD perbulan. Setara dengan 25.000.000
rupiah perbulan. Nah lihat? Harga iPhone di amerika cuma 700 USD, di indonesia
6.500.000 rupiah. Nilai rupiah terasa tidak berharga. 1 USD =9.500 rupiah.
6. Dampak
Redenominasi
Redenominasi
dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif. Dampak positif dari
redenominasi yaitu :
a) Frekuensi
pencetakan uang menjadi lebih jarang karena uang logam lebih tahan lama.
b) Dapat
mengatasi masalah inefisiensi waktu dan salah hitung karena jumlah nol yang
terlalu banyak.
c) Redenominasi
juga akan menyederhanakan penulisan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
sehingga rupiah terlihat memiliki kekuatan karena nilainya mendekati nilai
dollar Amerika Serikat.
Sedangkan
dampak negatif dari redenominasi adalah :
a) Bertambah
besarnya biata operasional perusahaan karena harus mengganti system pembukuan,
percetakan, dan system teknologi informasi.
b) Bank
Indonesia juga akan mengeluarkan biaya yang besar untuk mencetak uang baru
hasil redenominasi.
c) Timbulnya
dampak social berupa ketidakpercayaan masyarakat terhadap rupiah bahkan dapat
menjadi boomerang dimana masyarakat justru memborong dollar AS karena mereka
mengira redenominasi sama dengan sanering jika tidak dilakukan sosialisasi
dengan baik.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Redenominasi
merupakan bagian dari tugas Bank Indonesia dalam melaksanakan dan menjaga
kelancaran system pembayaran di Indonesia. Bank Indonesia melakukan
redenominasi mata uang rupiah karena uang pecahan Indonesia yang terbesar saat
ini adalah Rp 100.000, yang merupakan pecahan terbesar kedua didunia setelah
mata uang Vietnam yang pernah mencetak 500.000 Dong. Munculnya keresahan atas
status rupiah yang terlalu rendah ketimbang mata uang lainnya. Pecahan uang
Indonesia yang terlalu besar menimbulkan ketidakefisienan dan ketidaknyamanan
dalam melakukan transaksi, karena diperlukan waktu yang banyak untuk mencatat,
menghitung, dan membawa uang untuk melakukan transaksi sehingga terjadi ketidakefisienan
dalam transaksi ekonomi. Untuk mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia
dengan kawasan ASEAN dalam memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean pada tahun
2015. Untuk menghilangkan kesan bahwa nilai nominal uang yang terlalu besar
seolah-olah mencerminkan bahwa dimasa lalu, suatu Negara pernah mengalami
inflasi yang tinggi atau pernah mengalami kondisi fundamental ekonomi yang
kurang baik.
Redenominasi
tidak identik dengan sanering, redenominasi adalah penyederhanaan penulisan
nominal mata uang menjadi lebih simple yang dilakukan dalam kondisi ekonomi
yang stabil dan menuju kearah yang lebih sehat. Sedangkan Sanering adalah
pemotongan nilai uang dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat.
Redenominasi
dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif. Dampak positif dari
redenominasi dapat terlihat dari frekuensi pencetakan uang menjadi lebih jarang
karena uang logam lebih tahan lama. Dapat mengatasi masalah inefisiensi waktu
dan biaya transaksi dan salah satu karena jumlah nol yang terlalu banyak. Redenominasi
juga akan menyederhanakan penulisan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
sehingga rupiah terlihat memiliki kekuatan karena nilainya mendekati nilai
dollar Amerika Serikat.
Dampak
negatif dari redenominasi terlihat dari bertambah besarnya operasional
perusahaan karena harus mengganti system pembukuan, percetakan, dan system
teknologi informasi. Bank Indonesia juga akan mengeluarkan biaya yang besar
untuk mencetak uang baru hasil redenominasi. Selain itu timbulnya dampak Social
berupa ketidakpercayaan masyarakat terhadap rupiah bahkan menjadi boomerang
dimana masyarakat justru memborong dollar AS karena mengira redenominasi sama
dengan sanering jika tidak dilakukan sosialisasi dengan baik.
Redenominasi
akan dilakukan secara bertahap, membutuhkan waktu kurang lebih selama sepuluh
tahun. Jika dimulai pada 2013, akan belangsung hingga 2023 dalam tiga tahapan.
Tahap pertama, pada 2013-2015 diberlakukan dua denominasi, yakni uang lama dan
baru. Uang lama dengan digit tiga nol, dan uang baru tiga digitnya dipangkas
dengan membubuhkan tulisan “rupiah baru”.
Tahap
berikutnya, pada 2016-2018 secara alamiah dalam tiga tahun diperkirakan uang
lama habis. Selanjutnya, pada 2019-2020, pemerintah menghilangkan tulisan
“baru” pada uang yang beredar, sehingga seluruh uang yang beredar adalah uang
baru hasil redenominasi. Namun pemerintah masih memberikan waktu 3 tahun kepada
masyarakat untuk menukarkan uang lama dengan uang baru.
B.
Saran
Untuk
menghindari dampak sosial berupa trauma masyarakat seperti pada kebijakan
sanering pada masa yang lalu yang dapat mengilangkan kepercayaan pada mata uang
rupiah, maka disarankan kepada Bank Indonesia agar melakukan sosialisasi yang
intensif tentang rencana redenominasi nilai mata uang rupiah tersebut.
KASUS
Marilah kita
amati dan belajar dari dua kasus redenominasi mata uang yang sukses, yakni
Turki (2005) dan Brasil (1994).
Turki dengan produk domestik bruto (PDB) setara dengan Indonesia.
Indonesia kini di peringkat ke-18 dengan PDB 550 miliar dollar AS. Turki
selevel di atasnya (ke-17), dengan PDB 620 miliar dollar AS. Namun, yang
mencolok membedakan kedua negara, penduduk Turki ”hanya” 73 juta, sedangkan
Indonesia 238 juta sehingga dari pendapatan per kapita, kedua negara berbeda.
Kini PDB per kapita Turki 8.300 dollar AS, sedangkan Indonesia 2.400 dollar AS.
Turki mengalami inflasi kronis selama periode yang panjang, 1970-an
hingga 1990-an. Akibatnya, mata uang lira yang semula kursnya 1 dollar AS
ekuivalen dengan 9 lira merosot menjadi 90 lira (1980), lalu 1.300 lira (1988),
45.000 lira (1995), 107.000 lira (1996), dan puncaknya adalah 1,65 juta lira
pada tahun 2001!
Pada saat itu lira menjelma menjadi mata uang yang nilainya terendah di
dunia. Jika dirata-rata, inflasi selama periode tahun 1966-2004 adalah lebih
dari 40 persen per tahun. Turki kemudian membuang enam angka nol pada 1 Januari
2005 sehingga kurs selanjutnya adalah 1 dollar AS setara dengan 1,26 lira baru
(2007), 1,55 lira (2008), 1,48 lira (2009), dan 1,517 lira (Juli 2010).
Keberhasilan redenominasi lira Turki diawali reformasi yang dilakukan
Menteri Keuangan Kemal Dervis (2001). Inflasi dipangkas menjadi satu digit,
kepercayaan investor naik, dan pengangguran turun. Turki bertahap membuka
perekonomiannya bagi sektor swasta, baik domestik (privatisasi) maupun asing
(investasi langsung), meski ditandai dengan perdebatan politik yang sengit.
Turki berhasil mendorong sektor industri (manufaktur) sehingga
kontribusinya terhadap PDB mencapai 31 persen, sektor jasa menyumbang 60
persen, dan sektor pertanian 9 persen. Turki juga menyedot turis asing hingga
31 juta orang (2008). Akibatnya, cadangan devisa naik menjadi 77 miliar dollar
AS (Mei 2010).
Kini Turki menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi, rata-rata 7,4 persen
(2002-2007), masuk kelompok dengan pertumbuhan tertinggi di dunia meski sempat
terinterupsi oleh krisis ekonomi global, menjadi 4,5 persen (2008).
Redenominasi di Brasil tidak kalah seru. Negara ini kini merupakan
kekuatan ekonomi nomor 8 dunia dengan PDB 1,57 triliun dollar AS. Dengan
penduduk 193 juta orang, PDB per kapitanya adalah 8.100 dollar AS, setara
dengan Turki.
Brasil tercatat sebagai negara yang paling sering mengganti mata uangnya
dengan redenominasi pada dasawarsa 1980-an. Bahkan beberapa kali terjadi sebuah
mata uang diganti meski belum setahun digunakan. Reis (digunakan semasa
penjajahan Portugal dan masa republik baru Brasil, hingga 1942), cruseiro
(1942-1967), cruzeiro novo atau baru (1967-1970), kembali ke cruzeiro
(1970-1986), cruzado (1986-1989), cruzado novo (1989- 1990), cruzeiro
(1990-1993), cruzeiro real (1993-1994), dan akhirnya real (1994 hingga
sekarang).
Brasil berkali-kali melakukan redenominasi dan selalu gagal pada 1980-an
karena dua hal. Pertama, inflasi yang tinggi, bahkan hiperinflasi (mencapai 500
persen per tahun). Kedua, tingkat kepercayaan (confidence level) terhadap
pemerintah sangat rendah. Brasil dicekam konflik politik yang berkepanjangan
sehingga tidak ada kepastian (uncertainty) dalam menjalankan usaha.
Dalam situasi demikian, pergantian mata uang lewat redenominasi hanyalah
kebijakan kosmetik. Tidak bisa benar-benar menyelesaikan masalah. Selama
inflasi masih tinggi dan kepercayaan rendah, redenominasi hanya dinikmati
beberapa bulan dan selanjutnya mata uang kembali melemah. Redenominasi harus berulang-ulang.
Setelah gonta-ganti mata uang, Brasil akhirnya berhasil juga melakukan
redenominasi cruzeiro real menjadi real pada 1 Juli 1994, hingga sekarang.
Brasil amat diuntungkan dengan derasnya modal asing masuk pada 1994-1995,
sesaat sesudah redenominasi mata uangnya. Kombinasi sukses memangkas inflasi
dan masuknya modal asing yang menggelembungkan cadangan devisa merupakan faktor
terpenting keberhasilan redenominasi di Brasil. Kini cadangan devisa Brasil 257
miliar dollar AS, yang berarti 10 besar dunia sesudah China (2,45 triliun
dollar AS), Jepang (1 triliun), Rusia (456 miliar), Taiwan (362 miliar), Korea
Selatan (285 miliar), India (282 miliar), Swiss (262 miliar). Brasil
mengungguli Hongkong (256 miliar), Singapura (203 miliar), dan Jerman (194
miliar).
Pelajaran apa yang bisa dipetik? Brasil dan Turki sama-sama melakukan
reformasi ekonomi sebelum redenominasi. Stabilitas harga merupakan modal
terbesar, selanjutnya menarik modal asing yang bisa menggelembungkan cadangan
devisa. Selain perekonomiannya diarahkan ke industrialisasi berorientasi
ekspor, besarnya arus turis asing ke Turki dan Brasil amat membantu penambahan
cadangan devisanya.
Biarlah BI terus bekerja mempersiapkan segala sesuatunya menuju
redenominasi rupiah. Hal yang harus disiapkan adalah kendalikan inflasi rendah
secara berkelanjutan. Misalnya, inflasi di bawah 6 persen dalam lima tahun ke
depan secara berturut-turut. Lalu, akumulasikan cadangan devisa hingga di atas
100 miliar dollar AS dan pertahankan terus selama lima tahun berikutnya.
Jika ini bisa dicapai, redenominasi rupiah bukanlah mimpi, melainkan
visi yang bisa diwujudkan. Memang tidak bakal mudah, jalan cukup terjal, dan makan waktu. Tetapi, BI dan
pemerintah seyogianya memelihara visi ini dengan baik.
DAFTAR REFERENSI
- http://us.detikfinance.com/read/2010/08/04/084027/1413149/6/redenominasi-hanya-memberi-efek-psikologis-ke-pasar-saham
- http://web.bisnis.com/berita-populer/1id197796.html
- http://ekonominegarakita.wordpress-redenominasi-nilai-rupiah/3455