Oleh Puput Pratiwi
Terkadang
orang-orang hanya bisa berbicara tanpa harus tahu dan faham apa yang sedang
kita jalani dan rasakan. Kesalahan ini terlihat bodoh di mata orang, namun
bagiku hal ini lumrah. Aku juga tak menginginkannya dan tak mau ini terjadi.
Saat
ini aku sedang menghadapi masalah yang aku pun gak mengerti kenapa terlihat
begitu berat, padahal jika dibandingkan dengan segudang masalah yang aku hadapi
selama ini terlihat tak seberapa. Apa mungkin karena aku menyesali sikap
bodohku yang terlalu ini?
Kalau
bisa cepat, kenapa harus lama? Itulah yang ada dibenakku saat itu, aku ingin
segera menyelesaikan studi S1 ku ini. Aku ingin segera mencari kerja, aku ingin
segera mapan agar aku bisa membantu menyatukan keluarga yang sangat berantakan
ini. Namun aku terjebak, kerja paruh waktuku yang selama ini kuanggap sangat
membantuku ternyata harus dijadikan alasan keterlambatan pembayaran SPP ku.
Sebenarnya aku juga tak ingin menyebutnya sebagai alasan, namun memang inilah
adanya.
Hari
itu aku ingat sekali, terakhir pembayaran SPP tanggal 31 Januari. Kebiasaan
lamaku terulang, dan berhubung uang dikirim juga diakhir. Namun karena jadwal
kerja paruh waktuku yang saat itu lagi padat, aku tertipu oleh tanggal 31 itu. Karena
dikamar kos gak ada yang namanya kalender, sungguh aku gak tau kalau tanggal
itu adalah perayaan Imlek alias tanggal merah. Aku berencana membayarnya
tanggal 30, namun karena pada saat itu sudah pukul 02.00 siang, yang rencananya
sekalian pergi kerja, aku mendapatkan nomor antrian 230 padahal nomor yang
dipanggil baru 201. Karena aku anggap masih ada tanggal 31, lantas aku
tinggalkan bank dan dengan rasa tak berdosa langsung pergi kerja yang saat itu
acara yang harus dihandle adalah acara imlek. Bias kalian bayangkan betapa
bodohnya aku saat itu yang masih belum bias berfikir kalo tanggal 31 bank sudah
pasti tutup!
Alasan
konyol, inilah yang harus aku jelaskan kepada teman-teman kuliahku. Berbagai
macam reaksi yang aku dapatkan, dari mulai rasa kasihan sampai tertawaan. Aku
mencoba untuk menanggapinya dengan santai, namun aku harus bias nerima
kenyataan kalau aku tidak bias sidang yang artinya target wisuda bulan 5 ku
juga harus ikut tertunda. Sakit sudah pasti, wisuda bulan 5 sudah menjadi
target awalku ketika pertama aku kuliah, harapan juga bagi keluargaku karena
mereka eramat sangat ingin mengadakan pesta keluarga untuk wisuda ku karena
hanya akulah yang kuliah pada saat itu.
Tapi
aku yakin, walaupun ini terllihat bodoh dan konyolnya diriku, semua juga karena
kehendak Allah SWT. Tiada satupun kejadian dimuka bumi ini yang tidak atas
dasar ijin-Nya. Dia pasti memiliki alas an kenapa aku harus menunda wisuda ku,
aku yakin dan sangat yakin rencana itu akan terlihat indah nantinya. Walaupun
kata-kata ini terlihat menghibur diri sendiri, namun aku percaya semua akan
indah. Walau saat ini terlihat gelap, pasti ada cahaya didepan sana. Yang harus
aku lakukan adalah melanjutkan kegiatanku, aku harus bisa membantu
menyekolahkan adik-adikku.
Bunda,
Maaf
aku berbohong atas alasan penundaan wisudaku, maafkan aku bunda sedikitpun aku
tak berniat untuk menyakiti hatimu. Aku harap alasan itu adalah alasan yang
paling tepat agar engkau tak kehilangan semangat untuk membiayai kuliahku. Aku
janji bunda, aku aku menceritakan yang sebenarnya kepadamu, aku janji akan
menjadi seperti yang kau mau, maafkan aku bunda atas kesalahaku, aku
mencintaimu . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar